Postingan

Cerita Pendek yang Menjelaskan Perjalanan yang Panjang

Cerita Pendek yang Menjelaskan Perjalanan yang Panjang Marlina. Perempuan berkerudung yang berusia tiga puluh tahun. Ia tak tahu harus menceritakannya kepada siapa. Semua rekan-rekannya sudah tidak ada lagi semenjak kejadian itu. Hanya Marlina sendiri. Menyaksikan Jono, Tedjo, Awaliah, Annisah, dan kucing kesayangannya, Sivy, tergeletak. Kaca jendela pecah, berserakan. Ada yang menancap di tangan, di kaki, di paha, di dahi, juga bahu kanan dan kiri. Sinar matahari memoncerkan cairan merah, darah segar, yang mengalir menuruni pelipis, pipi, mulut, lanjut mengaliri leher hingga pakaian yang terpakai basah oleh darah. Yah. Marlina adalah satu dari tiga puluh lima penumpang bus yang selamat saat mengalami kecelakaan, dan masuk jurang. Ketika itu, tidak tahu di daerah mana. Hanya tebing yang curam saat Marlina keluar dari bus yang sudah ringsek, tetapi masih terdapat celah melalui pintu belakang yang menganga. Semua mati. Kenek bus, supir, dan tiga puluh empat penumpang—termasuk reka

Perkosa

Perkosa Sesenjaan lalu, Tubuhku disetubuhi Oleh baris abjad Habis aku dibuatnya puas Kuperiksa telepon genggam pada tangan kiriku Sebab yang kanan mati rasa Disiksa Bukan copot lagi Hampir dimutilasi karena ejakulasinya dini Ah! Kasihanilah Demi setetes darah Nanti bisa jadi rupiah Siapa tahu bisa dinikmati bersama Eh! Ini bukan Perkataan jorok-jorokkan Cuci wajahmu, Instokan matamu Biar jernih, biar kembali suci Samarinda, 12 Desember 2016

Ramai

Ramai Lalu lalang Sana-sini bertabrakan Bersenggolan Kiri-kanan sayuran Ada yang teriak Yang lari-lari Yang mana? Itu, Telur, ayam, ikan Minuman, makanan, mabuk-mabukkan Aku? Duduk dengan tenang Makan cucur juga cincin yang dibungkusan Sari Namja, 21216

Anjing

ANJING Cerpen: Panji Aswan Salah satu menikmati kehidupan adalah menjelma seperti binatang, entah binatang apa yang ingin dijadikan, terserah saja. Tapi tidak aku sarankan menjadi anjing! Kenapa? Coba saja tanyakan kepada teman di sebelahmu duduk. Atau jika kau tak punya teman, maka tanyalah kepada diri sendiri. Tepat pukul delapan malam ini, aku mencari makanan di sekitaran jalan-jalan yang berdebu. Berharap ada belas kasih dari seorang kopral tentara yang diam-diam menyembunyikan moncongnya di balik pantat. Aku sampai di sebuah tempat yang sepertinya akan ramai dengan sisa-sisa makanan yang terbuang. Benar saja. Makanan-makanan yang tak habis dimakan itu menjadi sampah. Aku harus ke sana, memanfaatkan kesempatan menikmati makanan, walau hanya sisa-sisa saus sambal di piring keramik kecil . Dengan pakaian yang seadanya—celana hitam panjang, kaos yang sobek di bagian ketiak, dan sandal butut yang ditukar oleh pemulung-pemulung sialan—aku mencari tempat duduk yang sekiranya bisa