Anjing

ANJING
Cerpen: Panji Aswan

Salah satu menikmati kehidupan adalah menjelma seperti binatang, entah binatang apa yang ingin dijadikan, terserah saja. Tapi tidak aku sarankan menjadi anjing! Kenapa? Coba saja tanyakan kepada teman di sebelahmu duduk. Atau jika kau tak punya teman, maka tanyalah kepada diri sendiri.

Tepat pukul delapan malam ini, aku mencari makanan di sekitaran jalan-jalan yang berdebu. Berharap ada belas kasih dari seorang kopral tentara yang diam-diam menyembunyikan moncongnya di balik pantat. Aku sampai di sebuah tempat yang sepertinya akan ramai dengan sisa-sisa makanan yang terbuang. Benar saja. Makanan-makanan yang tak habis dimakan itu menjadi sampah. Aku harus ke sana, memanfaatkan kesempatan menikmati makanan, walau hanya sisa-sisa saus sambal di piring keramik kecil .

Dengan pakaian yang seadanya—celana hitam panjang, kaos yang sobek di bagian ketiak, dan sandal butut yang ditukar oleh pemulung-pemulung sialan—aku mencari tempat duduk yang sekiranya bisa memantau orang-orang yang sedang menikmati pesanannya.

“Baiklah, selamat malam para hadirin yang berbahagia pada malam hari ini.”

Rupanya akan ada suguhan acara pada malam ini. Aku mengamati lelaki gendut berpakaian batik yang mulutnya seperti bebek yang mengoek. Terlalu cerewet untuk dibilang seorang lelaki. Coba lihat aku! Duduk dengan tenang, mengamati sekitar, dan tentu saja mengharapkan ada makanan yang tak dihabiskan itu untuk dialihkan kepadaku. Andai saja.

Aku tidak sendirian, di sebelah kanan dan kiriku adalah laki-laki semua. Di kiri pertamaku, lelaki tegap berkepala cepak. Aku memprediksi bahwa dia adalah laki-laki tulen yang menyembunyikan senjatanya di balik celana. Di kiri kedua, lelaki bertopi dengan logat daerah yang sangat tidak enak, kupingku saja sampai berteriak meminta ditutup dengan apa saja. Beralih ke laki-laki yang berada di kananku, lelaki di kanan pertama seorang perokok yang ajaib. Laki-laki kedua dari kananku, adalah laki-laki perayu yang melankolis. Sedangkan aku? Aku adalah laki-laki yang mungkin sebentar lagi akan menjadi seekor anjing.

Seorang pelayan datang membawa nampan berisikan minuman yang menyegarkan, sudah pasti itu adalah minuman mahalan karena gelasnya saja bisa sampai sedagu orang dewasa. Penikmat minuman itu sudah pasti tidak perlu repot mengangkat gelas atau menunduk untuk meraih moncong sedotan. Pas, moncong sedotan itu berada tepat di depan bibir yang ternyata bibir perempuan yang bergincu merah. Beruntung sekali sedotan itu, pikirku.

Satu lagi pelayan membawakan nampan yang berisikan makanan lezat nan rupawan. Tampilannya cantik, tapi tidak untuk ukuran lambungku yang kadang melebar kadang juga mengkerut. Namun, lambungku sekarang mengkerut. Butuh asupan makanan yang setidaknya memanjakan lidahku, merangsang tenggorakanku, kemudian berasyik-masyuk dengan lambungku. Ah! Semoga saja.

Di samping kiri, di meja yang lain. Aku tak sengaja menatap mata perempuan yang sedang memamerkan ketiaknya. Semua laki-laki akan terpesona bila melihat perempuan yang memamerkan ketiaknya itu saat berusaha mengikatkan rambut yang tergerai itu dengan karet bekas bungkus makanan atau semacamnya. Terkecuali aku. Aku tidak seperti laki-laki yang menatap liar seakan seekor anjing. Bukan! Bukan aku.

Aku mencari waktu, atau waktu yang mencariku. Sebab tak ada jam dinding atau apa pun itu untuk melihat waktu. Namun, aku memperkirakan sekarang sudah pukul sembilan malam, masih pagi untuk seorang tukang begadang sepertiku yang sedang kelaparan ini. Di panggung, sedang ada pembicaraan yang membuatku tak menarik untuk melihatnya. Dua lelaki tampan yang digilai wanita di setiap daerahnya. Bikin muak! Kimak!

“Anjing!”

Aku menengok ke belakang. Ada lelaki yang memaki, memanggil dirinya sendiri. Dan aku bodoh, mengapa aku mengikuti arah panggilan itu. Dasar Anjing! Aku bukan anjing, Anjing!

Bulan yang bundar itu semakin berenang menuju langit yang gelap di atas kepalaku. Tentu saja aku masih duduk manis, kalem, dan mengintai. Aku mencium aroma kemenanganku saat pelayan yang membawa minuman tadi kembali ke arah meja lain dan membersihkan meja serta mengangkut piring. Aku mengira, pelayan itu akan melewati meja tempatku duduk dan saat itu pula akan kucegat dan mengatakan pada pelayan itu, akan kuhabiskan makanan itu. Mubazir. Tapi perkiraanku salah. Pelayan itu malah tidak melewati meja tempatku duduk. Habislah aroma kemenangan itu menjadi rasa hampa dan lapar. Air liur tak terasa bermuara di sudut bibirku.

“Mas, mohon maaf, apakah tadi memesan Mie Goreng Amburadulnya?” tanya pelayan itu tiba-tiba kepada laki-laki pertama di kiriku.

Laki-laki berkepala cepak tadi dengan cepat menggelengkan kepala, sementara aku inginnya menganggukkan kepala. Namun aku sadar, di kantung celanaku hanya ada uang dua ribu rupiah, cukup untuk membayar tukang parkir yang sedang tidur-tiduran di kursi panjang.

“Kita sambut penampilan selanjutnya dari teman-teman penari heboh kita, De Monroe.”
Riuh suara tepuk tangan para pengunjung semakin menjadi, sementara aku masih memikirkan pesanan yang tadi.

Lima perempuan berjalan beriringan, memasuki arena layaknya sebuah pertandingan. Tetapi ini bukanlah sebuah pertarungan, menurutku ini semacam hiburan untuk para laki-laki yang kelaparan, atau mungkin jelalatan. Aku pun juga tak ingin ketinggalan dan semakin penasaran.

Benar dugaanku. Para pengunjung laki-laki yang tadinya sibuk dengan urusannya sendiri—main gawai, main Uno Card, ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul ndak jelas—kini berdiri, memasangkan mata mereka yang siap untuk loncat dari kelopak matanya. Mereka bersahutan, riuh-riuh teriakan terlontar dari mulut-mulutnya. Ada pun seperti yang melonglong layaknya anjing. Entah anjing jenis apa. Pastinya anjing itu adalah anjing jantan. Tidak mungkin anjing betina.

Tempat yang tadinya benar-benar santai kini berubah menjadi liar. Teriakan semakin beriak. Lolongan semakin melolong. Aku pun begitu. Malah lebih hebat lagi. Mataku memerah. Bulu-bulu di tangan dan kaki melebat, memenuhi badan dan wajahku. Lidah semakin asyik untuk menjulur-julur. Air liur menetes. Suara napas berderu, berpongah. Aku menggebrak-gebrak meja. Aufh! ... aufh! ... grrrr! Aaauuuufhhh! 

Seperti ada ekor yang memanjang yang tiba-tiba keluar dari tulang dudukku. Aku anjing. Aku berubah menjadi anjing. Menjadi anjing. Anjing! Anjing.

“Ada Anjing! Ada anjing gila! Tolong!”

Suara perempuan itu, entah dari mana datangnya. Tiba-tiba melihat diriku. Seakan aku adalah seekor anjing yang ganas. Dan semua pengunjung berlari di pojokan. Pojok kiri maupun kanan, semua penuh dengan jerit ketakutan minta tolong.

“Dasar anjing! pergi kamu!” ucap laki-laki berbadan besar dengan seragam hitam-hitam lengkap dengan balok kayu di tangan kanan. Aku yang masih kerasukan dan kelaparan itu semakin menjadi. Namun, satu makhluk yang anjing melawan tiga puluh tiga manusia, lebih tepatnya laki-laki.

Glek!

Asu! Mati aku!

Samarinda, 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramai

Cerita Pendek yang Menjelaskan Perjalanan yang Panjang

Perkosa